Menghitung Kerugian Negara dalam Kasus Dugaan Tipikor PT. LEB

Menghitung Kerugian Negara dalam Kasus Dugaan Tipikor PT. LEB

Spread the love

Provinsi Lampung-// Setelah lebih dari satu tahun proses penyidikan terhadap dugaan tindak pidana korupsi dalam pengelolaan Participating Interest (PI) 10% Wilayah Kerja Migas SES oleh PT Lampung Energi Berjaya (LEB), Kejaksaan Tinggi Lampung akhirnya menetapkan tiga tersangka dari jajaran direksi dan komisaris. Namun, hingga kini satu pertanyaan mendasar belum terjawab: berapa sebenarnya Kerugian Negara (KN) dalam kasus ini? 

Hingga saat ini, tidak ada angka pasti yang disampaikan oleh Kejaksaan. Asisten Pidana Khusus (Aspidsus) Kejati Lampung hanya menyebut bahwa terdapat kerugian negara, tanpa menyebutkan besaran ataupun dasar perhitungannya. 

Padahal, Kepastian KN Adalah Syarat Penting. Karena dalam hampir semua kasus Tindak Pidana Korupsi (Tipikor), nilai kerugian negara menjadi syarat mutlak sebelum penetapan tersangka. Hal ini ditegaskan dalam Pasal 2 dan 3 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo. UU No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tipikor, yang menyebut bahwa unsur kerugian keuangan negara atau perekonomian negara merupakan elemen kunci dari tindak pidana korupsi. 

Lebih lanjut, Pasal 1 angka 22 UU No. 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara menjelaskan bahwa kerugian negara adalah kekurangan uang/barang yang nyata dan pasti jumlahnya akibat perbuatan melawan hukum. Artinya, kerugian negara bukanlah asumsi, melainkan harus dapat diukur secara konkret dan objektif.

Tidak Ada Kerugian Negara yang Jelas Hingga Kini Berdasarkan beberapa informasi, selama proses penyidikan, berbagai upaya telah dilakukan Kejati Lampung untuk meminta BPKP menghitung KN. Namun permintaan tersebut berkali-kali ditolak karena tidak adanya dasar hukum yang kuat untuk menyatakan adanya KN. 

Kejaksaan sempat mendalilkan bahwa pendapatan dari PI 10% adalah “dana pemerintah” sehingga penggunaannya harus mendapat persetujuan pemegang saham. Namun, BPKP infonya menyatakan bahwa pendapatan PI merupakan pendapatan sah perusahaan sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Perseroan Terbatas (UU No.40/2007) dan Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan (PSAK). Tidak ada dasar yang menyatakan bahwa pendapatan PI harus disetor terlebih dahulu ke kas daerah seperti Dana Bagi Hasil (DBH) Migas. Termasul juga logika Kejaksaan bahwa pendapatan dari PI adalah modal kerja yang tidak boleh digunakan untuk operasional, membayar gaji dan dividen ke Pemegang Saham. Semua ditolak oleh BPKP.

Uang USD 1,4 Juta: Sudah Dicatat, Bukan Disembunyikan Pada Desember 2024, Kejati “menyita” dana sebesar USD 1,4 juta milik PT. LEB dan menyatakan bahwa dana tersebut “tidak dilaporkan” dalam Laporan Keuangan dan diramalkan nantinya akan digelapkan. Namun faktanya, dana tersebut jelas tercantum dalam Laporan Keuangan Audited dan diuraikan secara eksplisit dalam Catatan Atas Laporan Keuangan (CALK). Dana tersebut dikonversi ke dalam rupiah sesuai kurs akhir tahun dan akan digunakan untuk kebutuhan operasional dan bayar pajak. 

Jika data keuangan telah diaudit oleh Kantor Akuntan Publik independen dan disupervisi pula oleh BPKP, BPK dan KPP Pajak, maka pernyataan Kejati soal “uang disembunyikan” patut dipertanyakan: benarkah keliru membaca laporan keuangan, atau ada motif lain? Fakta lainnya, meskipun dalam konferensi pers yang dilakukan Kejaksaan telah dipamerkan bergepok-gepok uang dollar, namun kenyataannya, uang $ 1,4 juta tersebut masih aman di rekening LEB. Saat ini Kejaksaan hanya bisa memblokir rekening, tanpa bisa mengambilnya. Jadi uang yang dipamerkan saat itu uang siapa

Darimana Spekulasi Angka KN Rp 200 Milyar Muncul di Publik?  Tersebunya angka kerugian negara mencapai Rp 200 miliar di suatu media tanpa penjelasan resmi sangat menyesatkan. Jika anggapan Kejaksaan adalah bahwa seluruh pendapatan PI tidak sah dan seharusnya masuk ke Pemda, maka pertanyaan mendasarnya adalah: 

Bukankah proses pengelolaan PI ini telah secara ketat dikawal oleh SKK Migas dan pada akhirnya Kementerian ESDM menyetujui PI 10% ke LEB? 

Mengapa skema yang sama dijalankan di 10 daerah lain tanpa masalah hukum? Jika yang dilakukan LEB dianggap korupsi, apakah berarti semua daerah lain juga “korupsi” hanya karena menerima dan mengelola PI 10%?

Persetujuan Menteri ESDM terhadap PI ke PT LEB diberikan berdasarkan ketentuan Permen ESDM No. 37 Tahun 2016, dan diperkuat dengan prinsip-prinsip dalam PP No. 35 Tahun 2004 tentang Kegiatan Hulu Migas. Justru dari aturan diatas pendapatan PI adalah bentuk usaha sah PT LEB sebagai K3S (Kontraktor Kontrak Kerja Sama) yang memang hanya boleh mengelola PI 10% sebagai bentuk usahanya. 

Namun tampaknya Kejaksaan masih berkeras dengan pemahamannya, buktinya sisa dana  $1,4jt di PT. LEB dan Rp.59 milyar di PT LJU tetap disita oleh Kejaksaan, tanpa dasar yang jelas.

Jejak Uang: Semua Terlacak dan Dilaporkan Jika disebut total pendapatan PT. LEB mencapai Rp 271 miliar, maka mari kita telusuri: 

* **Dividen ke Pemegang Saham** (sesuai Akta RUPS 2022): Rp 214,8 miliar → telah disetor kepada PT LJU dan PDAM Way Guruh.

* **Disita Kejati Desember 2024**: Rp 23 miliar (konversi USD 1,4 juta).

* **Biaya operasional (2019–2022)**: Rp 18 miliar (termasuk gaji, sewa kantor, legalisasi, audit KAP).

* **Saldo dan cadangan operasional 2023–2025**: ± Rp 15 miliar. 

Semua penggunaan dana tersebut telah diaudit secara independen dan disahkan oleh pemegang saham melalui RUPS. 

### **Kesimpulan: Di Mana Letak Perbuatan Melawan Hukumnya?**  Jika tidak ada uang negara yang hilang, tidak ada dana yang mengalir ke pribadi, dan semua kegiatan operasional telah dilaporkan, diaudit, serta disetujui pemegang saham — **lalu di mana perbuatan melawan hukumnya?** 

Kerugian negara, menurut hukum, tidak bisa diada-adakan. Harus ada dasar, harus bisa dihitung, dan harus disebabkan oleh pelanggaran hukum. Hingga saat ini, tidak ada satu pun elemen tersebut yang berhasil dibuktikan secara terbuka dalam kasus PT LEB. 

Berapa Kerugian Negara dalam kasus Pengelolaan PI 10% oleh PT. LEB ?  Setelah satu tahun melakukan penyidikan terhadap dugaan korupsi Pengelolaan PI 10% oleh PT LEB, dengan memanggil 60-an saksi dari mantan Gubernur Lampung hingga Penjual Siomay, Kejaksaan Lampung menetapkan Tiga Tersangka yang terdiri dari Direksi dan Komisaris PT. LEB. Berapa Kerugian Negara (KN) nya ? Tidak disebutkan jumlahnya oleh Kejaksaan. Armen, Asisten Pidana Khusus hanya menyebut ada KN tapi tidak menyebutkan berapa-nya. 

Tidak seperti biasanya memang. Karena hampir disemua kasus Tipikor, besar KN telah ada dan dihitung secara teliti oleh BPK atau BPKP. Karena kepastian KN ini menjadi dasar penetapan tersaksa Tipikor.

Hingga satu tahun penyidikan pun ternyata Kejaksaan masih belum mampu menghitung dengan pasti berapa KN nya. Yang lama ditunggu dari Kejaksaan hingga saat ini pun masih tidak kunjung muncul. Meski pada akhirnya ada tersangka, tapi KN masih belum ada.  Seberapa sulit menghitung KN pada dugaan Tipikor PT. LEB ?

Jika merujuk pada UU No. 31 Tahun 1999 jo. UU No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, KN muncul dalam Pasal 2 dan 3 yang cukup dikenal yang intinya bahwa: “Setiap orang yang secara melawan hukum / menggunakan jabatan / kewenangannya melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri/orang lain/korporasi yang merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana…” 

Sedangkan dalam Pasal 1 angka 22 UU No. 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara disebutkan bahwa KN adalah kekurangan uang, surat berharga, dan/atau barang, yang nyata dan pasti jumlahnya, akibat perbuatan melawan hukum, baik disengaja maupun kelalaian. 

Dalam UU No. 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara Pasal 1 disebutkan bahwa, “Keuangan negara adalah semua hak dan kewajiban negara yang dapat dinilai dengan uang termasuk kekayaan negara/daerah yang dipisahkan” 

Secara khusus terkait dengan BUMN dan BUMD, Putusan Mahkamah Konstitusi No. 48/PUU-XI/2013 menegaskan bahwa kerugian pada BUMN/BUMD tetap dapat dikategorikan sebagai KN, jika: Pertama, Terdapat penyertaan modal negara/daerah. Kedua, kerugiannya akibat tindakan melawan hukum, dan ketiga Negara/daerah tidak menerima manfaat ekonomi yang seharusnya. 

Sedangkan secara khusus untuk BUMD, termaktub dalam Pasal 28 Peraturan Pemerintah No. 54 Tahun 2017 tentang BUMD, yang menyatakan bahwa Pendapatan Daerah adalah Dividen bagian pemerintah dari BUMD. 

Dengan pemahaman terkait KN diatas, apakah memang sulit menghitung KN oleh Direksi dan Komisaris LEB sehingga sudah memakan waktu satu tahun pun masih belum jelas ? 

Dari berbagai sumber diperoleh info bahwa cerita ini bermula dari “aduan masyarakat yang menjadi atensi” dengan tuduhan PT. LEB menahan uang dividen hak PT. LJU yang nantinya diharapkan menjadi PAD bagi Pemprov Lampung, karena sudah beberapa kali PT. LEB ditagih DPRD. Namun saat dipanggil Kejaksaan sekira Juli 2024, dividen dimaksud sudah disetor penuh oleh PT. LEB ke PT. LJU. 

Bukannya selesai, ternyata malah Kejaksaan mengeluarkan surat perintah Penyelidikan 1 Oktober dan langsung meningkat menjadi Penyidikan tanggal 14 Oktober 2024.

Saat penyidikan, telah beberapa kali Kejaksaan meminta BPKP untuk menyatakan KN dalam penggunaan pendapatan PI dengan alasan tidak mendapatkan persetujuan pemegang saham. Namun hal ini tidak bisa dipaksakan menurut BPKP karena memang merupakan pendapatan perusahaan sesuai dengan UU PT dan standar PSAK. Sehingga anggapan Kejaksaan bahwa Pendapatan PI harus diperlakukan seperti Dana Bagi Hasil Migas yang harus masuk dulu ke Pemda terbantahkan.

Begitu pula anggapan Kejaksaan bahwa pendapatan PI adalah modal kerja yang diberikan oleh PHE OSES yang hanya bisa digunakan untuk modal usaha, sedangkan PT LEB belum ada pengembangan usaha. Sehingga menurut Kejaksaan, pendapatan PI tidak boleh digunakan untuk operasional serta labanya tidak bisa dibagikan sebagai dividen. Untuk itu, bahkan Kejaksaan “menyita” dana di PT. LJU yang merupakan sisa dividen dari PT. LEB sebesar Rp. 59 Milyar. Konsep inipun dibantah oleh BPKP, karena memang Pengelolaan PI 10% adalah bentuk usaha di sektor Migas. Bahkan menjadi satu-satunya usaha yang boleh dilakukan oleh PT LEB selaku Kontraktar Kontrak Kerjasama (K3S), sesuai dengan Peraturan Pemerintah tentang Usaha Hulu Migas 35/2004 dan PERMEN ESDM 37/2016. Lagi-lagi Kejaksaan “diusir” dari BPKP dan pulang dengan tangan hampa. 

Selanjutnya pada 9 Des 2024, Aspidsus Kejaksaan Lampung pernah melakukan konferensi pers yang menyatakan bahwa telah menyita uang dollar milik PT. LEB sebesar $1,4jt. Menurut Armen, PT. LEB ditengarai tidak melaporkan sisa uang dollar tersebut dalam Laporan Keuangan. Sehingga kemungkinan nantinya akan digelapkan. 

Kejaksaan membawa konsep ini ke BPKP dan meminta dianggap sebagai KN, namun lagi-lagi ditolak oleh BPKP karena sebenarnya sudah jelas ada di Laporan Keuangan Audited dan dijelaskan pada Catatan Atas Laporan Keuangan (CALK) bahwa uang $1,4jt itu ada dan dikonversi menjadi rupiah sesuai dengan kurs akhir tahun. Cerita yang kadung disampaikan dengan gegap gempita ini pun akhirnya redup dan menghilang. 

Hal ini menjadi pertanyaan publik, apakah memang Aspidsus benar-benar kurang jeli membaca Laporan Keuangan atau sengaja sebagai alasan “menyita” uang milik PT. LEB agar nilai sitaan semakin besar dan menambah “prestasi” Aspidsus Kejaksaan. Padahal uang itu seharusnya digunakan untuk operasional PT. LEB. 

Lama menanti perkembangan kasus, sekitar Juni 2025 publik menerima kabar dari Kejaksaan bahwa saat itu mereka telah menyerahkan berkas-berkas ke BPKP untuk diminta menghitung potensi KN kembali. Kali ini, tanpa cerita khusus. Jadi semua data hasil pemeriksaan diminta untuk dianalisa kalau-kalau ada KN. Hal ini pastinya menyulitkan BPKP, karena beda dengan penghitungan KN yang biasanya sudah ada kasusnya. Sedangkan PT LEB tidak, hanya segepok berkas dan diminta BPKP mencari sendiri. Sekitar dua bulan, BPKP akhirnya mengeluarkan hasil investigasinya. Tapi apa hasilnya, hanya Kejaksaan yang tau.

Lantas, darimana beredar info bahwa potensi KN dari kasus LEB ini mencapai 200 M ? Jika Kejaksaan melihat bahwa PT. LEB sama sekali tidak berhak mendapatkan PI 10% dan karenanya semua pendapatan PT. LEB sebanyak Rp. 271 Milyar itu semuanya sebagai uang haram, maka Kejaksaan harus berhadapan dengan SKK Migas dan Menteri ESDM yang memberikan persetujuan PI 10% ke LEB. Persetujuan Menteri ini telah melalui proses panjang sehingga Menteri benar-benar yakin semua kewajiban dan proses telah sesuai dengan PERMEN ESDM 37/2016.

Proses yang sama telah dilalui oleh 10 daerah lain yang juga mengelola PI 10% WK Migas. Jika proses yang sama telah dilakukan daerah lain, mengapa hanya LEB yang dianggap pendapatannya haram ?

Namun jika yang dimaksud adalah penggunaan dana 271 M itu, maka dapat ditelusuri dari beberapa hal. Sesuai dengan hasil RUPS LEB Tahun Buku 2022 yang dikutip media dari Akte Notaris disebutkan bahwa telah ditetapkan dividen untuk Pemegang Saham (yaitu PT. LJU sebagai BUMD Provinsi dan PDAM WAY GURUH sebagai BUMD Lamtim) sebesar 214,8 M dan semuanya telah disetor. Artinya, jika total pendapatan 271 M dikurang dividen, sekitar 56 M yang tersisa. 

Lebih dalam, sesuai Laporan Keuangan 2022 diketahui bahwa biaya operasional (kantor, gaji, dll) untuk mendapatkan hak pengelolaan PI selama empat tahun sejak 2019-2022 sebesar 18 M. Perencanaan dan penggunaan dana ini semuanya telah disetujui oleh Pemegang Saham dalam RUPS dengan terlebih dahulu Laporan Keuangannya diaudit oleh Kantor Akuntan Publik setiap tahunnya. Sedangkan penggunaan dana operasional 2023 – 2025 sekitar 15M. Sisanya telah disita oleh Kejaksaan sejak Des 2024 sebesar 23 M ($1,4jt). 

Jika semua pengeluaran tersebut telah dikelola dengan baik, tanpa ada penyimpangan dan pelanggaran dan semua catatan keuangan sesuai dengan Laporan Keuangan Audited. Apalagi PT. LEB selama ini di audit pula oleh BPKP, BPK dan Kantor Pajak, maka sebenarnya dimana letak KN nya ? Bukankah KN itu syaratnya terdapat perbuatan melawan hukum ? 

Atau apakah dari 18M yang telah diaudit tersebut ada yang dianggap korupsi ? Pada item apa dan berapa besar ? Tidak mungkin juga bernilai 200 Milyar kan ? 

Jumlah yang fantastis memang bisa jadi berita viral meningkatkan popularitas Kejaksaan, tapi bukan itu maksud penegakan hukum. Trial by press saja sudah sangat menyudutkan, apalagi ditambah dengan dramatisasi yang justru dilakukan sendiri oleh Kejaksaan yang seharusnua Wicaksana, sesuai Tri Krama Adhyaksa. 

Redaksi//

Mitramabestnipolri.com

Investigasi//

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *